Seorang anak dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki,
melangkah meninggalkan dusun yang jauh dari keramaian kota. Pagi itu
masih buta, dan waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Tak banyak orang
yang keluar rumah sepagi itu. Apalagi, seorang anak yang baru berusia
delapan tahun. Tapi, itulah potret perjuangan seorang anak untuk bisa
mendapatkan pendidikan selayaknya mereka yang tinggal di kota besar.
Mungkin itu salah satu gambaran betapa sangat dibutuhkannya
pendidikan di daerah terpencil. Sebut saja, kawasan Timur Indonesia,
Papua. Tidak seperti di kota besar, sebut saja Jakarta, tak sulit bagi
anak usia sekolah menjalaninya. Tak perlu banyak perjuangan untuk bisa
sampai ke sekolah tujuan. Beda dengan mereka yang tinggal di daerah
terpencil. Mungkin, butuh waktu berjam-jam untuk bisa sampai sekolah.
Belum lagi tantangan alam yang harus dihadapi. Seperti,
menyeberang sungai, keluar masuk kampung, dan tantangan alam yang harus
dihadapi. Tapi, itulah perjuangan untuk bisa mendapatkan pendidikan.
Mungkin, nasib anak daerah belum seberuntung anak kota. Walau semangat
tinggi, tentu butuh biaya. Itu pula yang kini menjadi kendala.
Tentunya, jika pemerintah dan masyarakat menganggap pendidikan
kunci kemajuan bangsa, semua pihak harus segera memperbaiki proses
pendidikan. Sebab, tidak semua daerah di Indonesia memiliki kesempatan
sama memperoleh pendidikan. Belum lagi sarana dan prasarana yang cukup
membedakan antara satu daerah dengan daerah lain, atau provinsi.
Tengok saja, di Pegunungan Tengah, Papua. Miris jika melihat
dunia pendidikan di sana. Karena keterbatasan bahkan ketiadaan dana,
seperti kamp darurat, sarana sekolah digunakan untuk mengembangkan
pengetahuan anak didiknya. Jangankan untuk membicarakan masalah
kesejahteraan pendidiknya, nasib kelangsungan dunia pendidikan saja
belum bisa dipastikan. Semua itu, lantaran kuncuran dana dari pihak
terkait, atau pemerintah yang terbilang tidak memadai.
Saat ini, persoalan mendasar pendidikan di Kabupaten Jayawijaya,
induk sejumlah kabupaten pemekaran di Pegunungan Tengah, adalah
ketidakhadiran guru-guru di sekolah, khususnya yang berada di luar ibu
kota kabupaten Wamena. Gedung-gedung sekolah yang memadai, seperti yang
terlihat di Distrik Kurulu, akhir Februari lalu, hanya menjadi tempat
murid-murid berkumpul dan bermain.
Kondisi serupa juga ditemukan para pekerja sosial Wahana Visi
Indonesia (WVI) yang memantau proses pembelajaran di sejumlah sekolah di
beberapa kabupaten di Pegunungan Tengah. Banyak sekolah tidak aktif
lebih dari dua tahun. Guru baru datang saat masa ujian hampir tiba.
Untuk ujian nasional, anak didik banyak yang diikutkan ujian melalui
sekolah di daerah lain.
Memprihatinkan
Sungguh memprihatinkan jika melihat
kondisi seperti ini. Padahal, minat anak-anak usia sekolah di sana
terbilang sangat besar. Sayangnya, semua tidak diimbangi dengan tenaga
pengajar, sarana dan prasarana lain yang turut mendukung kegiatan
belajar mengajar di sana. Bahkan, seperti di Kabupaten Jayawijaya, para
guru lebih senang tinggal di Wamena. Alasannya beragam, mulai dari
lokasi sekolah yang jauh dari kota, terbatasnya transportasi umum menuju
tempat mengajar, mengurus berbagai administrasi sekolah, hingga sibuk
mencari kerja sampingan.
Padahal jika melihat perjuangan anak Papua untuk mendapatkan
pendidikan sangat besar. Meski harus menempuh perjalanan panjang. Hal
itu yang dilakukan sejumlah murid yang kini bersekolah di SD Advent
Maima di Distrik Asolokobal. Mereka harus berjalan kaki 2 jam menuju
sekolah dan berjalan pulang selama 3 jam naik turun bukit. Sebenarnya
perjalanan jauh ini bisa diminimalisir dengan keberadaan asrama. Seperti
dikatakan Ramses Revasi, guru SD Advent Maima, sekolah sebenarnya
memiliki asrama. Namun, ketiadaan biaya untuk menanggung makan anak-anak
membuat operasional asrama terpaksa dihentikan.
Selain persoalan guru, sekolah juga sering libur akibat
ketidakhadiran murid. Saat ada pesta adat, khususnya pesta kematian,
murid bisa tidak masuk sekolah lebih dari dua minggu. Padahal, selama
pesta berlangsung, anak-anak hanya duduk berbincang sambil menunggu
waktu makan tiba.
Itulah kondisi yang saat ini terjadi. Tentunya ini tantangan
bagi pemerintah setempat untuk bisa mengubah pandangan orang tua
terhadap pentingnya pendidikan. Memang, guru di Papua harus bekerja
ekstra sekaligus kerja rangkap menjadi 'orangtua' murid di tengah
ketidakpahaman dan kekurangpedulian orangtua terhadap pendidikan anak.
Bahkan, setelah mendapat pembelajaran di sekolah, orangtua jarang
memantau pelajaran anak mereka. Belum lagi hambatan lain, seperti
ketiadaan aliran listrik.
Kurangnya perhatian orangtua juga terlihat dari diabaikannya
pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Di sini,
PAUD dan TK dianggap bukan sekolah. Padahal, tuntutan saat ini, sebelum
masuk kelas I sekolah dasar (SD) anak sudah bisa. Dalam sistem
masyarakat Pegunungan Tengah, anak diasuh kaum ibu. Saat hendak bekerja
di ladang, para ibu mengajak anak-anak ke kebun. Tidak ada budaya
mengantar anak sekolah, apalagi membantu mereka mengerjakan pekerjaan
rumah.
Memang, mencari solusi atas ketertinggalan pendidikan dan
rendahnya kualitas manusia Pegunungan Tengah, maupun Papua secara
keseluruhan ibarat mengurai benang kusut, tanpa tahu harus dimulai dari
mana dan dengan cara apa. Tentunya, kehadiran sejumlah pekerja sosial
setidaknya memberi angin segar kehadiran orang-orang luar Papua yang
peduli akan kemajuan dan kebaikan masyarakat Papua.
Bahkan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua James Mondou
mengakui, sulitnya membangun pendidikan secara menyeluruh di wilayahnya.
Menurutnya, pembangunan pendidikan di Papua harus dilakukan secara
kontekstual parsial. Kontekstual dalam arti menyesuaikan dengan budaya
sosial masyarakat Papua. Hal ini, kata dia, mengingat Papua yang unik
secara geografis juga termasuk daerah yang memiliki bermacam-macam
kebudayaan. Ada budaya masyarakat yang bermukim di daerah pesisir
selatan, atau daerah rawa, yang memiliki pola hidup serta mata
pencahariaan yang sangat berbeda.
Pendekatan yang dilakukan untuk membangun pendidikan, sambung
James, tentunya akan berbeda dengan wilayah lainnya. Masyarakat
pegunungan yang sangat tekun dengan aktivitas pertanian memiliki gizi
yang terbilang rendah. Masyarakat pegunungan lebih banyak mengonsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat dan sangat kurang mengasup makanan
yang mengandung protein. Belum lagi masyarakat di daerah pesisir pantai
utara. Meski terbilang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan
masyarakat pegunungan, tetap memerlukan pendekatan yang berbeda.
Selain itu, yang menjadi kendala dalam pembangunan pendidikan di
Papua adalah luasnya wilayah sehingga membuat jarak menjadi berjauhan,
dan status gizi yang rendah. Di samping itu, peradaban masyarakat
tradisional juga menyebabkan benturan lain karena sistem di sekolah
sangat dominan dengan sistem yang disiplin sehingga harus dilakukan
berbagai penyesuaian secara sosial dan budaya.
Untuk bisa mengubah semua itu memang diperlukan penanganan
khusus, lebih fokus dan dilakukan kontinyu. Kita hanya bisa berharap tak
ada lagi batasan atau hambatan untuk bisa meraih pendidikan, sekalipun
di daerah terpencil.
Sumber : http://www.108csr.com/home/realita.php?id=145
Sabtu, 13 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar