Sabtu, 13 Oktober 2012

POTRET PENDIDIKAN DI PAPUA

Seorang anak dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, melangkah meninggalkan dusun yang jauh dari keramaian kota. Pagi itu masih buta, dan waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Tak banyak orang yang keluar rumah sepagi itu. Apalagi, seorang anak yang baru berusia delapan tahun. Tapi, itulah potret perjuangan seorang anak untuk bisa mendapatkan pendidikan selayaknya mereka yang tinggal di kota besar.
Mungkin itu salah satu gambaran betapa sangat dibutuhkannya pendidikan di daerah terpencil. Sebut saja, kawasan Timur Indonesia, Papua. Tidak seperti di kota besar, sebut saja Jakarta, tak sulit bagi anak usia sekolah menjalaninya. Tak perlu banyak perjuangan untuk bisa sampai ke sekolah tujuan. Beda dengan mereka yang tinggal di daerah terpencil. Mungkin, butuh waktu berjam-jam untuk bisa sampai sekolah.


Belum lagi tantangan alam yang harus dihadapi. Seperti, menyeberang sungai, keluar masuk kampung, dan tantangan alam yang harus dihadapi. Tapi, itulah perjuangan untuk bisa mendapatkan pendidikan. Mungkin, nasib anak daerah belum seberuntung anak kota. Walau semangat tinggi, tentu butuh biaya. Itu pula yang kini menjadi kendala.

Tentunya, jika pemerintah dan masyarakat menganggap pendidikan kunci kemajuan bangsa, semua pihak harus segera memperbaiki proses pendidikan. Sebab, tidak semua daerah di Indonesia memiliki kesempatan sama memperoleh pendidikan. Belum lagi sarana dan prasarana yang cukup membedakan antara satu daerah dengan daerah lain, atau provinsi.

Tengok saja, di Pegunungan Tengah, Papua. Miris jika melihat dunia pendidikan di sana. Karena keterbatasan bahkan ketiadaan dana, seperti kamp darurat, sarana sekolah digunakan untuk mengembangkan pengetahuan anak didiknya. Jangankan untuk membicarakan masalah kesejahteraan pendidiknya, nasib kelangsungan dunia pendidikan saja belum bisa dipastikan. Semua itu, lantaran kuncuran dana dari pihak terkait, atau pemerintah yang terbilang tidak memadai.

Saat ini, persoalan mendasar pendidikan di Kabupaten Jayawijaya, induk sejumlah kabupaten pemekaran di Pegunungan Tengah, adalah ketidakhadiran guru-guru di sekolah, khususnya yang berada di luar ibu kota kabupaten Wamena. Gedung-gedung sekolah yang memadai, seperti yang terlihat di Distrik Kurulu, akhir Februari lalu, hanya menjadi tempat murid-murid berkumpul dan bermain.

Kondisi serupa juga ditemukan para pekerja sosial Wahana Visi Indonesia (WVI) yang memantau proses pembelajaran di sejumlah sekolah di beberapa kabupaten di Pegunungan Tengah. Banyak sekolah tidak aktif lebih dari dua tahun. Guru baru datang saat masa ujian hampir tiba. Untuk ujian nasional, anak didik banyak yang diikutkan ujian melalui sekolah di daerah lain.

Memprihatinkan
Sungguh memprihatinkan jika melihat kondisi seperti ini. Padahal, minat anak-anak usia sekolah di sana terbilang sangat besar. Sayangnya, semua tidak diimbangi dengan tenaga pengajar, sarana dan prasarana lain yang turut mendukung kegiatan belajar mengajar di sana. Bahkan, seperti di Kabupaten Jayawijaya, para guru lebih senang tinggal di Wamena. Alasannya beragam, mulai dari lokasi sekolah yang jauh dari kota, terbatasnya transportasi umum menuju tempat mengajar, mengurus berbagai administrasi sekolah, hingga sibuk mencari kerja sampingan.

Padahal jika melihat perjuangan anak Papua untuk mendapatkan pendidikan sangat besar. Meski harus menempuh perjalanan panjang. Hal itu yang dilakukan sejumlah murid yang kini bersekolah di SD Advent Maima di Distrik Asolokobal. Mereka harus berjalan kaki 2 jam menuju sekolah dan berjalan pulang selama 3 jam naik turun bukit. Sebenarnya perjalanan jauh ini bisa diminimalisir dengan keberadaan asrama. Seperti dikatakan Ramses Revasi, guru SD Advent Maima, sekolah sebenarnya memiliki asrama. Namun, ketiadaan biaya untuk menanggung makan anak-anak membuat operasional asrama terpaksa dihentikan.

Selain persoalan guru, sekolah juga sering libur akibat ketidakhadiran murid. Saat ada pesta adat, khususnya pesta kematian, murid bisa tidak masuk sekolah lebih dari dua minggu. Padahal, selama pesta berlangsung, anak-anak hanya duduk berbincang sambil menunggu waktu makan tiba.

Itulah kondisi yang saat ini terjadi. Tentunya ini tantangan bagi pemerintah setempat untuk bisa mengubah pandangan orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Memang, guru di Papua harus bekerja ekstra sekaligus kerja rangkap menjadi 'orangtua' murid di tengah ketidakpahaman dan kekurangpedulian orangtua terhadap pendidikan anak. Bahkan, setelah mendapat pembelajaran di sekolah, orangtua jarang memantau pelajaran anak mereka. Belum lagi hambatan lain, seperti ketiadaan aliran listrik.

Kurangnya perhatian orangtua juga terlihat dari diabaikannya pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Di sini, PAUD dan TK dianggap bukan sekolah. Padahal, tuntutan saat ini, sebelum masuk kelas I sekolah dasar (SD) anak sudah bisa. Dalam sistem masyarakat Pegunungan Tengah, anak diasuh kaum ibu. Saat hendak bekerja di ladang, para ibu mengajak anak-anak ke kebun. Tidak ada budaya mengantar anak sekolah, apalagi membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah.

Memang, mencari solusi atas ketertinggalan pendidikan dan rendahnya kualitas manusia Pegunungan Tengah, maupun Papua secara keseluruhan ibarat mengurai benang kusut, tanpa tahu harus dimulai dari mana dan dengan cara apa. Tentunya, kehadiran sejumlah pekerja sosial setidaknya memberi angin segar kehadiran orang-orang luar Papua yang peduli akan kemajuan dan kebaikan masyarakat Papua.

Bahkan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua James Mondou mengakui, sulitnya membangun pendidikan secara menyeluruh di wilayahnya. Menurutnya, pembangunan pendidikan di Papua harus dilakukan secara kontekstual parsial. Kontekstual dalam arti menyesuaikan dengan budaya sosial masyarakat Papua. Hal ini, kata dia, mengingat Papua yang unik secara geografis juga termasuk daerah yang memiliki bermacam-macam kebudayaan. Ada budaya masyarakat yang bermukim di daerah pesisir selatan, atau daerah rawa, yang memiliki pola hidup serta mata pencahariaan yang sangat berbeda.

Pendekatan yang dilakukan untuk membangun pendidikan, sambung James, tentunya akan berbeda dengan wilayah lainnya. Masyarakat pegunungan yang sangat tekun dengan aktivitas pertanian memiliki gizi yang terbilang rendah. Masyarakat pegunungan lebih banyak mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan sangat kurang mengasup makanan yang mengandung protein. Belum lagi masyarakat di daerah pesisir pantai utara. Meski terbilang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat pegunungan, tetap memerlukan pendekatan yang berbeda.

Selain itu, yang menjadi kendala dalam pembangunan pendidikan di Papua adalah luasnya wilayah sehingga membuat jarak menjadi berjauhan, dan status gizi yang rendah. Di samping itu, peradaban masyarakat tradisional juga menyebabkan benturan lain karena sistem di sekolah sangat dominan dengan sistem yang disiplin sehingga harus dilakukan berbagai penyesuaian secara sosial dan budaya.

Untuk bisa mengubah semua itu memang diperlukan penanganan khusus, lebih fokus dan dilakukan kontinyu. Kita hanya bisa berharap tak ada lagi batasan atau hambatan untuk bisa meraih pendidikan, sekalipun di daerah terpencil.

Sumber : http://www.108csr.com/home/realita.php?id=145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management